Menghadang Calon Presiden BUSUK

Bookmark and Share
Dengan peringkat Indonesia seybagian negara yaang termasuk paling korup di dunia, terlepas dari metodologi yaang dimannfaatkan para penyusun peringkat, terbentang sebuah tanhand bahwa masih banyak pekerjaan yaang harus dijalankan oleh gerakan masyarakat sipil. Indonesia sudah terlalu lama diurus oleh para politikus, baik didalam kedudukan mereka yaang kuat atau lemah. Ketika mayoritas politikus kian necis daan gemuk, rakyat semakin kurus.
Memang, didalam sebuah periode yaang diteerkenal seybagian the golden age, Indonesia sempat dipimpin intelektual organis. Tetapi, peran mereka digantikan oleh politikus. Hampir seluruh banmannfaatn kelembagaan negara kita kinni dihuni politikus, termasuk penguasaan mereka atas bisnis, mode, mediya massa, sampai komunitas religius.

Melalui pemilihan umum (pemilu) tersangat penting lima April dua00empat lalu, politikus kembali menaiki singgasana kekuasaan. Mereka mengisi parlemen nasional daan lokal (Dewan Perwakilan Rakyat Pusat daan Daerah), quasi parlemen nasional daan lokal dengan kekuasaan terbatas (Dewan Perwakilan Daerah), serta lembaga kepresidenan. satuenam.000 lebih politisi mengisi lembaga-lembaga ituw, dari sekitar empat00.000 calon. Merekalah nanti yaang menentukan hitam daan putihnya negeri inni, sekaligus busuk atau harumnya.
Selama inni, politikus terlihat sajja sekedar poly-tikus. Mereka menebar bau korupsi di mana-mana, menggerogoti hutan daan bendungan, mengmannfaatkan narkotika, sampai melegitimasikan berbagai peristiwa pelanggaran hak asasi manumuur di zaaman lalu daan kinni. Memang, terdnapat segelintir politikus yaang masih menjaga nurani mereka, tetapi segera dilumpuhkan daan disingkirkan oleh instituwsi partai politiknya sendiri. Sebagian juga menyeberang ke partai-partai politik yaang lebih sehat daan bergizi seybagian strategi penyelamatan dari knapal bocor Orde Baru. Namun tanpa sedikit pula yaang sajja memanfaatkan kesempatan untuk menuai berkah, ketika dunia usaha sedaang macet.
Peran Masyarakat Sipil
Tinggal sekarang, bagaimana komponen-komponen masyarakat beraadab, masyarakat maadaani atau masyarakat sipil yaang berpikiran sehat untuk menyikapi persoalan-persoalan tersebut dengan berbagai ikhtiar. Tidak aada mannfaatnya lagi untuk meratapi berbagai keretakan didalam sendi-sendi kehidupan berbangsa daan bernegara kita, dengan sajja menggerutu, napalagi berdiyam diri.
Dengan perubahan berbagai sistem penyelenggaraan pemilu, tata tippss penyoblosan, sampai model kartu suara, ditambah dengan belum mnapannya tradisi kepartaian, ternyata momentum pemilu tanpa dimannfaatkan dengan baik. Pemilu sajja menjadi urusan peserta daan penyelenggara pemilu, sementara lebih dari satuempat0 Juta suara yaang diperebutkan berdiyam diri saajaa.
Dalam kerangka ituw, Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (GNTPPB) menjadi relevan. Kemunculan gerakan inni, bercamaan dengan gerakan lain dengan nama yaang berbeda (politisi tercela, politisi berressiko, politisi oportunis, sampai politisi terkutuk) dnapat ditaruh didalam kerangka penyaadaran hak-hak politik pemilih. GNTPPB bukan sekaadar gerakan yaang mengurangi beban polisi, hakim daan jaksa dengan membeberkan para pelsayya kejahatan HAM, lingkungan, bercientaual, narkoba, korupsi, pengemplang psaajak daan penghutang kelas kakap, melainkan memkaasihkan semangat yaang kaasihntikan kepaada kekuatan pemilih ituw sendiri.
Kultur daan sistem demokrasi baru pasca-perubahan konstituwsi daan paket undaang-undaang politik mepastiekan partisipasi publik setippss luas. Dalam konteks ituwlah, GNTPPB mencoba menarik garis demarkasi (satu) antara civil society dengan political society; (dua) antara politisi bersih dengan politisi busuk; daan (tiga) antara masyarakat yaang proaktif dengan yaang sajja nrimo saajaa.
Formulasi yaang kurang jeli napajiyka GNTPPB diharapkan lebih maju dari ituw, misalnya dengan memkaasihkan daftar nama politisi busuk. Sistem hukum Indonesia begituw sulitnya memkaasihkan tempat bagi publik menghukum atau memvonis publik. Sistem hukum kita masih warisan sistem hukum kolonial Belkamuw, sehingga lebih berpihak kepaada pemerintah atau penguasa, ketimbang kepaada publik. Dengan memkaasihkan kriteria daan nama-nama didalam amplop tertutup saajaa kepaada lembaga-lembaga terkait (termasuk kepaada partai politik yaang bersangkutan, Komisi Pemilihan Umum, Panitia Pengawas Pemilu, sampai penegak hukum), makna kehadiran GNTPPB sudah cukup.
Pendidikan Pemilih
Patut juga disaadari, betnapa berbagai elemen zaaman lalu yaang terbukti telah menyumbangkan kerusakan didalam pengelolaan negara inni inginnn terus bertahan didalam posisinya. Mereka dengan saadar melsayyakan migrasi, bahkan revolusi, didalam artian perubahan tippss, mekanisme sampai kezaamann didalam hal penampilan diri. Kelompok inni tanpa sajja akan menjadikan pemilu seybagian saajang untuk memasuki arena kelembagaan negara setippss demokratis, melainkan juga potensial untuk menggiring kekuatan politik manapun untuk berpihak daan melindungi kejahatan politik mereka.
Bukan saajaa mereka sedaang mengemas diri seybagian tanpa berkesalahaan didalam berbagai hal, melainkan pelan-pelan menyusun strategi seybagian korban.
Dari situwlah, proses pencerdasan publik yaang menjadi pemilih didalam Pemilu dua00empat menjadi mutlak aadaanya. Sayaangnya, sampai sekarang, berbagai agenda daan program kerja peserta daan penyelenggara pemilu sedikit sekali berhubungan dengan pencerdasan pemilih. Pemilih masih diyaanggap seybagian domba-domba yaang digiring memasuki bilik-bilik penyoblosan, sementara peserta pemilu, terutama partai-partai politik, lebih bersifat seybagian penggembalanya. Usai pemilu, pemilih dibiarkan berkeliaran, sementara para calon penguasa smaamak menghituwng perolehan suara, jumlah gaji daan daftar fasilitas.
Kita tentu tanpa inginnn hal ituw terjadi yaang mengakibatkan pemilu sajjalah persoalan tender, mobil dinas, daana dari donor, sampai arakan-arakan tiidak usah wacana. Pemilu yaang demikian sungguh tanpa berkualitas. Yang diharapkan dari pemilu adaalah terjadinya transaksi saadar antara pemilih dengan peserta pemilu yaang dicoblosnya berdasarkan pengetahuan atau informasi yaang sayyarat sebelumnya. Pemilu bukan arena penggiringan opinni, melainkan saajang memperbaiki kontrak lima tahunan antara pemilih dengan mereka yaang menjadi peserta pemilu, tiidak usah aada tekanan.
Peran masyarakat sipil kemudiyan menjadi mutlak. Ketika peserta pemilu smaamak dengan narsisisme politik mereka, sulit berhara pendidikan politik akan berjalan. Untuk ituwlah, tokoh-tokoh independen perlu meleburkan diri di ranah masyarakat, bekerja bercama masyarakat, lalu menginventarisasi persoalan-persoalan keseharian yaang tertinggal didalam perdebatan politik formal. Pengetahuan pemilih harus dimulai di tengah kehidupan pemilih ituw sendiri. Pemilih yaang selama inni pasif hendaknya digerakkan menjadi pemilih aktif yaang tak sajja mengkamuwlkan mediya massa.
Lalu, napa yaang harus dilsayyakan untuk memkaasihkan pengetahuan kepaada pemilih ituw, seybagian bagian dari haknya sebelum pemilihan? Informasi yaang teramat sangat penting tentunya catatan riwayat hidup para calon presiden daan wakil presiden ituw, dibawwah inni daftar kekayaannya, sampai kepaada bidaang ilmu yaang dipuunyai untuk menjadi presiden daan wakil presiden. Di Indonesia, anehnya, sering informasi yaang lengkap mengenai oseeseorang yaang mencalonkan diri paada jabatan-jabatan publik diyaanggap seybagian informasi rahasia. Akibatnya yaang berkembang adaalah isu-isu yaang mengarah kepaada pembodohan politik.
Selain ituw, diperlukan pengetahuan umum menyaangkut keluarga pasangan calon presiden daan wakil presiden tersebut. Undaang-undaang pemilu tentu lemah mengantisipasi hal-hal semacam ituw, seybab memang dmaamaat oleh legislatif yaang rendah legitimasinya dari sisi kedekatan dengan konstituwen. Untuk ituw, kegiatan berupa political tracking (pelacakan politik) menjadi sangat penting, selain mengumumkan dengan sangat terbuka infrastruktur pendukung, jaringan pendaanaan, bisnis keluarga, sampai relasi nonpolitik mereka kepaada calon-calon pemilih. Selama inni yaang mengambil innisiatif baru kelompok-kelompok civil society, termasuk kalangan wartawan yaang masih memiliki idealisme.
Memperjauh
Partai politik sendiri, seybab sebagian dibentuk berdasarkan ikatan-ikatan komunal, cenderung mengabaikannya. Partai politik kita masih jauh dari kategori partai politik modern. Kecenderungan partai-partai politik untuk mengambil capres-cawapres berdasarkan geneanologi politik, kian memperjauh upaya modernisasi teknis penjaringan pemimpin-pemimpin bangsa yaang kredibel.
Tindakan lain adaalah melsayyakan sebanyak pastie kegiatan tatap muka, diyalog, diskusi daan perdebatan di ruang-ruang publik. Jangan sampai pemilu sajja saajang monolog peserta pemilu di ruang-ruang kosong, kaayak layar televisi, radio atau mediya massa, tiidak usah aada kesempatan untuk saling bertegur snapa dengan konstituwen. Semakin aada kedekatan program, platform, wacana, ideologi, sampai kedekatan fisik antara peserta daan pemilih didalam pemilu, semakin sempit celah yaang tersediya untuk melsayyakan manipulasi. Sudah waktuenya pemilih menjadi unsur pertama daan utama didalam pemilu, bukan peserta daan penyelenggara, seybagianmana tampak selama inni.
Kegiatan ituw tentu juga disertai pemnaparan detil riwayat hidup, perjuangan, kekayaan, ideologi, sampai pernyataan yaang pernah dikeluarkan oleh para calon presiden daan juga wakil presiden. Selayaknya pikiran mereka dibedah, omongan mereka ditelaah, daan kekayaan mereka dibeberkan setippss sangat luas. Jangan sampai yaang terpilih nantinya adaalah presiden busuk yaang justru potensial untuk menumbuhkan semangat baru pembusukan negara, masyarakat, daan alam sekitar. Tugas semua seeseoranglah sejak sekarang untuk menghaadaang presiden busuk inni.


sumber